Wednesday 10 October 2012

Pulau Sikuai, Bukti Dahsyatnya Keindahan Pesisir Sumbar

Mungkin tak banyak traveler yang tahu tentang keberadaan Pulau Sikuai di Sumatera Barat. Pulau ini seperti baru ditemukan keindahannya. Patut dikunjungi saat Anda traveling ke Ranah Minang.
Bila kita berkunjung ke Sumatera Barat, biasanya hanya Jam Gadang, Lembah Anai, Lembah Arai, Rumah Gadang, dan pantai tempat asal mula kisah Malin Kundang yang populer di mata wisatawan. Memang benar, tempat-tempat inilah yang menjadi wisata andalan di Sumatera Barat.

Mengaku pecinta surfing, Anda bisa ke Pulau Mentawai yang tak jauh dari Pulau Sumatera. Tapi terus terang saja, jarang ada wisatawan lokal yang berkunjung ke sini. Mayoritas yang datang ke destinasi ini adalah wisatawan asing.

Namun tidak hanya itu, masih ada satu lagi tempat indah yang belakangan ini mulai populer, yaitu Pulau Sikuai. Pulau ini berbeda dengan Pulau Mentawai yang memiliki ombak yang tinggi.
Pulau Sikuai memiliki laut yang lebih tenang. Pulau dengan luas sekitar 40 hektar ini layak dijadikan salah satu tujuan wisata ketika Anda berada di Sumatera Barat.

Laut dengan pantai yang indah, pasir yang putih dengan latar belakang hutan yang masih perawan, menjadi panorama cantik di pulau ini. Kabarnya sunset di sini pun sangat indah. Namun sayang, menjelang sore saya sudah harus kembali lagi ke Padang.

Beragam aktivitas pun bisa dilakukan di pulau ini. Mulai dari banana boat, snorkeling, bersepeda mengelilingi pulau atau sekadar duduk di bawah pohon sambil minum air kelapa bisa traveler pilih sesuka hati.

Berlibur di Sikuai bisa membuat Anda merasa lebih rileks. Tentu saja, berada di pulau ini sama artinya menjauhkan diri sementara dari rutinitas yang membosankan. Memang benar, 'Indonesia, it's amazing!'

Pantai Parai Tenggiri, Satu Lagi Pantai Cantik dari Bangka

Menikmati pekerjaan yang selalu keluar kota menjadi hal yang menyenangkan. Sambil menyelam minum air, selain bekerja saya juga bisa traveling. Kali ini, Pantai parai Tenggiri nan cantik jadi target wisata, saat saya berada di Bangka Belitung.

Berprofesi sebagai seorang konsultan yang mendapat lokasi proyek tersebar di beberapa provinsi, membuat saya punya banyak kesempatan mengunjungi tempat wisata di berbagai daerah. Pada kesempatan ini, kebetulan saya ditugaskan ke Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. Namun, karena keterbatasan waktu saya hanya sempat berkunjung ke Pantai Parai Tenggiri yang berada di Sungailiat, Kabupaten Bangka.

Mengenai waktu tempuh dari pangkal pinang, ada yang menarik di sini. Sedikit bercerita, angkutan umum di Pulau Bangka sangat sulit sekali ditemui. Saya pun sampai 'karatan' menunggu angkutan umum di pulau ini.

Akan tetapi, setelah menunggu hampir 1,5 jam akhirnya sebuah mobil berplat kuning lewat di hadapan saya. Sontak saya pun merasa sangat bahagia. Tanpa ragu, saya langsung meminta supir untuk mengantarkan ke Pantai Parai. Selanjutnya, supir pun setuju dengan tarif Rp 100.000.
Celakanya, sang supir ternyata baru beberapa hari menginjak Pulau Bangka. Saya heran kenapa dia bisa pasang tarif dan menyetujui untuk mengantar saya ke Pantai Parai. Untung saja informasi melalui penunjuk arah yang ada di sepanjang perjalanan cukup jelas menunjukkan ke arah Pantai Parai.

Saya berangkat dari Hotel Aston Soll Marina pukul 13.30 WIB dan tiba di Pantai Parai pukul 15.15 WIB. Ya, waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan informasi awal yang saya peroleh, yaitu sekitar 45 menit. Karena waktu tempuh perjalanan yang panjang saya pun merasa kasihan, jadilah ongkos supir saya tambahkan Rp 25.000 dari kesepakatan awal.

Akhirnya saya pun berhenti di depan sebuah resort "Parai Beach Resort & Spa" yang merupakan kawasan wisata terpadu Pantai Parai Tenggiri. Saya coba berkeliling untuk mencari alternatif penginapan, tetapi kecewa karena satu-satunya tempat istirahat di Pantai Parai hanya "Parai Beach Resort & Spa".

Sebelumnya saya tidak berani ke resepsionis karena sudah bisa menebak harga kamar yang akan ditawarkan. Namun, tidak ada pilihan lain maka saya melaju ke depan meja resepsionis. Sontak saja, saya kaget melihat harga kamar yang termurah masih seharga Rp 850.000.
Akan tetapi, setelah negosiasi saya mendapatkan harga spesial pada harga Rp 583.000. Ya, walaupun masih tinggi tapi saya sudah terlanjur jatuh hati pada pantai ini. Ahh, terpaksa saya relakan sebagian uang perjalanan dinas untuk membayar kamar di hotel ini.

Ini kali pertamanya saya berkunjung ke Bangka Belitung. Rasa takjub melihat pemandangan ini membuat hati tak ingin pergi. Batu-batu besar di sekitar pantai membuat pemandangan ini semakin sempurna.
Pengelola di lokasi ini sangat memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan wisatawannya. Hal ini terlihat dari lingkungan pantai yang bersih dan tertata asri serta beberapa safety guide yang memantau pengunjung yang berenang, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Ada banyak fasilitas di pantai ini, seperti parasailing, banana boat, jetski, kolam renang, restoran resort dan restoran di atas pulau "Rock Island" dan masih banyak lagi.
Mengenai restoran Rock Island, panoramanya sangai indah sekali kalau disaksikan saat malam hari. Di kiri dan kanan jembatan terdapat lampu yang cahayanya sangat indah dan menambah suasana semakin romantis.

Tidak hanya itu, sunrise yang disajikan Pantai Parai ini berbeda dengan kebanyakan pantai yang telah saya kunjungi. Rasanya menarik sekali bisa menyaksikan sunrise di pantai dengan hamparan batu yang sangat banyak dan besar-besar.

Namun sayang, ada saatnya saya harus pulang ke Jakarta. Karena tidak ada angkutan umum saya pun menyewa travel untuk mengantarkan kembali ke Kota Pangkal Pinang. Pihak hotel kembali memberikan potongan harga sehingga saya hanya membayar Rp 200.000 dari harga normal Rp 250.000.

Dari supir travel ini saya baru mengetahui kalau ada sebuah jalan pintas yang menghubungkan Kota Pangkal Pinang dengan Pantai Parai. Waktu tempuhnya pun hanya sekitar 40 menit. Sangat jauh berbeda saat keberangkatan dengan menyewa angkot yang memakan waktu tempuh 1 jam 45 menit.
Sebenarnya, di dekat Pangkal Pinang adalagi pantai yang cukup bagus untuk dikunjungi, yaitu Pantai Padi dan Pantai Tanjung Pesona. Akan tetapi, adanya keterbatasan waktu saya belum sempat mengunjungi dua pantai tersebut.
Mungkin lain waktu, semoga saja proyek tahun depan semakin banyak sehingga saya bisa bekerja sambil liburan. Salam traveling!

Pasar Terapung Damnoensaduak Bikin Penasaran!

Sudah ketiga kalinya saya datang ke Thailand, tapi belum juga sempat datang Damnoensaduak Floating Market. Akhirnya, rasa penasaran membawaku ke pasar terapung ala Negeri Gajah Putih.
Berbekal penasaran saya mengunjungi Damnoensaduak Floating Market, sebuah pasar tradisional terapung terbesar di Negara Gajah Putih. Dengan menyewa mini van saya dan keluarga sudah siap sejak pagi.
Membutuhkan waktu tempuh 2 jam perjalanan menuju Provinsi Ratchaburi yang berada di barat daya Kota Bangkok. Namun sayang, perjalanannya terasa datar dan membosankan.
Tiba di lokasi, saya harus beli tiket masuk dan menyewa sampan tentunya dengan adegan tawar menawar terlebih dahulu. Waduh! Patokan harganya tidak jelas, kalau sampai tidak jadi tentunya tidak seru.

Sudah jauh-jauh datang dan ingin tahu seperti apa sih Damnoensaduak pasar terapung Thailand itu, masa tidak jadi hanya karena harga sewa sampan yang tak jelas. Jadi, ya sudahlah terpaksa kami bayar, tapi dalam hati, "Kalau jelek awas, cukup sekali!"

Belum 5 menit menyusuri kanal yang lebih mirip seperti parit besar, bau tak sedap dari airnya yang berwarna coklat menyeruak masuk ke hidung. Sampah bertebaran, bekas botol mineral mengambang dimana-mana. Waduh! Apa bedanya dengan Ciliwung ya? Saya pun hanya tutup hidung pakai tisu.
Perahu akan saling berpapasan dan sesekali bersenggolan dengan perahu yang mengangkut wisatawan lainnya di sepanjang kanal. Di pinggir kanal banyak kios-kios penjual suvenir dan sampan para penjual makanan dan buah-buahan yang sedang menunggu pembeli, bertransaksi. Itu memang pemandangan unik.

Jika Anda membayangkan Damnoensaduak, pasti membayangkan keramaiannya seperti pasar terapung di Sungai Kapuas, Kota Banjarmasin? Anda salah, karena Damnoensaduak hanyalah pasar terapung yang memanfaatkan kanal-kanal kecil sampai akhirnya sampan itu berhenti ditempat yang sama waktu saya naik tadi.

Lho, mana sungai besarnya ya? Saya membayangkan sebuah pasar terapung yang spektakuler dimana berkumpul ratusan penjual di sampannya yang berada di tengah-tengah Sungai Chaopraya.
Saya pun masih penasaran, ternyata lebih seru Pasar Terapung Banjarmasin. Saya pun membatin, "Cukup sekali, dan saya tidak penasaran lagi." Cintailah alam dan negerimu!

Pulau Buton, Tempat Transit Paling Indah Menuju Wakatobi

Sebenarnya tujuan utama saya waktu itu adalah menuju gugusan Kepulauan Wakatobi. Namun, sayang rasanya bila tidak mengeksplor Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang menjadi transit sebelum menuju Wakatobi.
Waktu itu, awal januari 2012, saya dan pasangan mau backpacking dari Makassar ke Wakatobi. Dari Makassar kami menaiki kapal pelni menuju Pulau Buton atau yang lebih dikenal dengan nama Bau-bau.

Sampai di sana kami pun pikir-pikir lagi untuk langsung menyambung perjalanan dengan kapal kayu yang menuju ke Wanci (Wakatobi). Ternyata, kami tertarik dengan keindahan pulau bersejarah ini. Akhirnya kami memutuskan akan menunda perjalanan ke Wakatobi selama satu hari untuk mengeksplor Bau-bau.

Waktu yang cukup singkat, kami sempat bingung ke mana destinasi pertama kami di pulau yang eksotis ini. Akhirnya, air terjun Bau-bau menjadi tujuan pertama kami karena kami juga belum mandi seharian. Untungnya pemandian di air terjun ini sedang sepi karena saat itu bukan hari libur. Jadi, kami bisa mandi dan main air sepuasnya.

Kemudian, destinasi kami selanjutnya adalah Pantai Nirwana yang letaknya lumayan jauh dari pelabuhan. Membutuhkan waktu perjalanan sekitar setengah jam bila menggunakan ojek.
Pantai Nirwana ternyata sangat indah! Perpaduan warna air laut dan langit di sana menyerupai warna pastel. Sungguh menawan bila dipandang mata. Kalau sudah ke sini, kami merasa tidak mau kembali lagi karena merasa seperti berada di negeri dongeng.

Tapi sayang, waktu kami di Bau-bau tidaklah banyak karena harus segera melanjutkan perjalanan ke Wakatobi dengan kapal kayu. Sampai berjumpa lagi Pulau Buton!

Berkemah di Pinggir Pantai Pulau Pari

Berkemah adalah salah satu cara untuk menikmati keindahan sebuah pantai. Kali ini saya pun bisa menikmati keindahan Pantai Pari, Kepulauan Seribu dengan cara tersebut. Rasanya semakin menyatu dengan alam.

Dari Bekasi menuju Tanjung Pasir, Kabupaten Banten, saya dan teman-teman menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Selanjutnya, menyeberangi lautan menuju Pulau Pari selama 2 jam. Pulau
Pari merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Seribu yang berada di sebelah utara DKI Jakarta.
Pulau yang bependuduk kurang lebih 200 kepala keluarga ini menyediakan homestay untuk bermalam. Bagi yang ingin menjadikan alunan suara ombak untuk menemani tidur, ketua RT setempat mengizinkan kita untuk berkemah di bibir pantai.

Tidak hanya itu, bersepeda di pagi hari merupakan salah satu cara menikmati keindahan Pulau Pari. Selain itu, juga ada cara lain yang tak kalah seru, seperti snorkeling dan banana boat yang paling favorit dilakukan wisatawan saat sore hari.

Di hari kedua menuju pulang, Pulau Bokor dengan pesona pasir putih, ombak-ombak kecil, serta batang pohon yang tumbang dan menjulang ke tengah laut tidak bisa dihiraukan begitu saja. Pulau Bokor hanya dihuni oleh binatang-binatang liar, seperti kera, ular. Percaya atau tidak, menurut nelayan setempat di sini juga terdapat anaconda!

Namun, sangat disayangkan pasir putih Pulau Bokor dinodai oleh sampah-sampah buangan dari pulau di sekitarnya yang terbawa ombak. Minimnya perhatian dari warga setempat dan kurangnya kepekaan
masyarakat terhadap lingkungan menjadi suatu masalah yang sangat disayangkan untuk destinasi wisata seperti ini.

Gili Linus, Si Cantik yang Misterius!

Tidak cuma Gili Trawangan, Gili Nanggu, Gili Meno, dan Gili Air saja! Masih ada Gili Linus yang keberadaannya menyimpan banyak misteri. Aura misterius pulau cantik ini, berasal mulai dari asal-usul keberadaannya sampai kuburan yang ada di Puncak Gili Linus.
Gili Linus, merupakan tumpukan bebatuan yang indah berbentuk kubus dan persegi panjang. Bebatuan tersebut seperti pahatan manusia yang menumpuk dan tersusun rapi. Diperkirakan bebatuan ini sudah berusia ratusan sampai ribuan tahun.
Senin, 17 September lalu saya bersama seorang sahabat, Didik Firmansyah Yamin, melakukan ekspedisi ke daerah Jerowaru di ujung selatan Lombok Timur. Ekspedisi tersebut kami beri nama Ekepsedisi Lombok Selatan (EkspedisiLS).
Kami berangkat sekitar pukul 09.00 WITA dari Setungkep, Keruak yang menjadi lokasi rumahnya Didik. Perjalanan pertama kami menuju Batu Nampar. Ya, daerah ini membuat penasaran setelah lama diperbincangkan dalam sosial media.
Bukan karena Batu Nampar ini daerah penghasil tembakau, tapi katanya Batu Nampar ini menyuguhkan pantai-pantai yang eksotis. "Ehm, semakin penasaran aja."
Setibanya di Batu Nampar, kami mampir ke rumah teman kuliah Didik, Mbak Eli di IKIP Mataram. Ternyata bukan mencari pasangan perempuan jalan-jalan, Mbak Eli ini justru menjadi pemandu selama berada di Batu Nampar.
Di rumah Mbak Eli, kami diceritakan tentang kehidupan petani tembakau di Jerowaru oleh bapaknya. Petani tembakau tahun ini, nasibnya terlunta-lunta karena tembakau dibeli murah oleh perusahaan. Selain itu, mereka yang menjadi petani tembakau wajib menyekolahkan anak mereka sampai ke perguruan tinggi.
Pantas saja, di rumah Mbak Eli ada beberapa foto wisuda kakak-kakaknya. Oh ya, Batu Nampar ini termasuk dalam desa di pesisir Pantai Jerowaru. Sekitar pukul 11.00 WITA. Akhirnya kami berempat, yaitu Saya, Didik, Mbak Eli dan sepupu Mbak Eli, Inul memutuskan untuk melakukan perjalanan.
Kami memulai ke destinasi pertama, yaitu Gili Linus. Aneh juga yah namanya, karena yang kita tahu biasanya Gili Nanggu dan Gili Trawangan saja.
Setelah sampai di Dermaga Batu Nampar, kami kembali bertamu ke kediaman keluarga Mbak Eli yang kebetulan akan mengantar kami menyeberang ke Gili Linus. Setelah 15 menit mengobrol dengan Tuaq (paman), kami pun berangkat ke Gili Linus.
Tampak dari kejauhan Gili Linus seperti bukit yang muncul di tengah laut. Sekitar 10 menit menyeberang akhirnya sampai juga kami di Gili Linus.
Ya, bau menyengat kuburan tercium dari dermaganya, saya curiga kalau di Gili ini hanya ada kuburan saja. Awalnya, Eli dan Inul tak mau naik, tapi saya paksa terus. Apa gunanya ikut nyeberang tapi tidak menikmati alam Linus. Akhirnya kami berempat pergi, sementara Tuaq menunggu di dermaga.
Batu-batu yang menumpuk dan tersusun rapi di Gili Linus mungkin sudah berusia ratusan sampai ribuan tahun karena disela-sela batu yang menumpuk ini ditumbuhi pohon-pohon besar. Setelah sampai di puncak Gili Linus ada kuburan tetua atau orang zaman dulu Jerowaru.
Ada dua buah kuburan yang satunya lebar dan besar, tapi satunya lagi kecil. Di kuburan tersebut ada bekas kepala kambing dan wadah kemenyan. Konon, kuburan ini sering dijadikan tempat ritual oleh masyarakat setempat.
Gili Linus ramai dikunjungi masyarakat sekitar apabila ada upacara adat Sasak, keagamaan, serta acara pergantian Tahun. Di sisi bagian timur Gili Linus, kata Tuaq ada batu unik berbentuk kursi. Tapi sayang, batu tersebut tidak bisa diambil gambarnya. Ya, karena batu ini tertutup oleh semak-semak dan tidak akses menuju ke sana.
Gili Linus sudah masuk daftar pulau-pulau kecil yang dilindungi oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Untuk sampai di Gili Linus, wisatawan harus menyeberang. Tarif penyeberangan ke Gili Linus hanya perlu membayar sekitar Rp 5.000 per orang dengan menggunakan sampan kecil. Satu sampan ini muat untuk lima orang dan satu nahkoda.
Selain itu, ada beberapa mitos yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang keberadaan Gili Linus. Gili Linus terbentuk dari tiga batu mulia yang dihadiahkan oleh kerajaan Dompu ke kerajaan Sasak di Jerowaru. Salah satu batu mulia ini sampai sekarang keberadaanya masih misteri, sementara dua batu mulia yang lainnya masing-masing dipegang oleh penunggu Gili Linus (jin) dan manusia biasa yang ternya Tuaq sendiri.
Dulunya, Gili Linus adalah benteng pertahanan Kerajaan Sasak. Tapi, nama kerajaannya tidak disebutkan oleh Tuaq. Saat ini Gili Linus dikuasai oleh 3 suku, yaitu Suku Sasak yang mendapat bagian di sisi puncak, utara, dan barat, Suku Tionghoa yang mendapat bagian di sisi timur dan Suku Bugis di bagian Selatan.

Sedangkan bagian puncak dan barat yang dikuasai Suku Sasak diamanatkan kepada jin penunggu sebelah utara. Salah satu tokoh masyarakat Jerowaru di bagian puncak dan bagian barat.
Jangan sekali-kali berbuat maksiat di Gili Linus, apabila Anda membawa pasangan lawan jenis! Apabila melanggar Anda akan diusik oleh penunggunya.

Selain itu, jangan membawa pulang benda apapun dari Gili Linus. Setiap benda di pulau ini ada penjaganya. Apabila ada yang terbawa sampai rumah, pasti akan ditagih oleh penunggunya.
Di puncak dekat kuburan, ada sebuah mata air. Namun, jarang ada yang bisa melihat apalagi menemukannya. Apabila Anda bisa melihat mata air tersebut, segeralah membuat ritual khusus! Konon itu menjadi pertanda rezeki Anda akan melimpah.

Setelah 1 jam di Gili Linus, kita kembali ke dermaga. Tahukan Anda? Ada ang lebih unik saat kita ingin meninggalkan Gili Linus. Kami harus mengelilingi Gili tersebut. Tidak banyak-banyak, hanya cukup satu kali saja. Kalau menurut saya, prosesi ini dilakukan agar bisa melihat semua sisi Gili Linus dari lautan.

Oh ya, sebenarnya dibandingkan dengan Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, Gili Nanggu ataupun Gili Kondo, Gili Linus tidak memiliki sesuatu yang spesial. Tapi, dari atas puncak Gili Linus kita bisa menikmati panorama indah pantai-pantai di sekitar, seperti Pantai Ekas, Pantai Surga, Pantai Batu Nampar, dan Pantai Gerupuk.

Rute menuju Batu Nampar itu sangat mudah. Dari pertigaan kantor Desa Sukaraja, kalau dari arah Praya ke kanan kemudian lurus. Nanti bertemu pertigaan belok kiri, lurus lagi ketemu pertigaan dan ambil kanan.

Terus saja ikuti jalan yang beraspal dan aspalnya juga sudah bagus sampai ketemu pasar dan ada perempatan belok kiri. Selanjutnya, lurus sampai nanti ketemu Tambak Garam. Ikuti jalan dan sampailah di Dermaga Batu Nampar. Kalau mau menyeberang langsung saja tanya-tanya ke nelayan setempat.

Tanjung Ringgit, Pesona Terindah di Ujung Pulau Lombok

Lombok di Nusa Tenggara Barat tidak akan ada habisnya menawarkan keindahan. Di setiap sudutnya adalah surga, seperti Tanjung Ringgit yang berada di ujung tenggara pulau cantik ini.
Tidak hanya Uluwatu di Bali yang menawarkan tebing-tebing eksotis dan memanjakan para pengunjung. Lombok juga punya! Ini dia Tanjung Ringgit yang memakan waktu tiga jam perjalanan untuk sampai di kawasan ini dari Kota Mataram.
Tanjung Ringgit adalah lautan lepas di Samudera Hindia. Banyaknya tanjung dengan tebingnya yang eksotis, pasir putih dan air lautnya yag berwarna biru, menjadi daya tariknya. Selain itu, Tanjung Ringgit memiliki situs sejarah peninggalan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia.
Dari sekian banyaknya keindahan yang ada Tanjung Ringgit, ada beberapa keunikan yang kita bisa temui di sini, lho. Turun dari perbukitan menuju laut tidaklah susah. Ada lorong yang bisa menembus perbukitan. Dari sana kita bisa turun ke laut dengan melewati anak tangga dari lorong itu. Jalannya agak sedikit curam maka berhati-hatilah karena tiupan angin sangatlah kencang.
Setelah berada di bawah, kita bisa melihat lebih dekat adanya sumur air tawar yang berada tepat di bawah dinding tebing. Ya, ada sumur air tawar di tepi pantai. Unik!
Di kawasan ini juga ada pohon bernama Pohon Surga. Diberi nama Pohon Surga karena hanya ada satu pohon di tempat ini. Di pohon inilah pengunjung bisa berteduh dikala panas terik atau hujan. Dari sini juga kita bisa menikmati pemandangan Tanjung Ringgit yang luar biasa indah.
Di dinding tebing sebelah barat, yang termasuk tanjung yang paling eksotis, ada sebuah lukisan yang terbuat dari rumput-rumput yang tumbuh di dinding tebing tersebut. Panorama ini seolah membawa kita dalam suasana Pulau Bali.
Uniknya, coba perhatikan pasir dan terumbu karang yang muncul di lautan Tanjung Ringgit, kita bisa menemukan dan melihat lafadz Allah, silahkan dibuktikan! Selain keunikannya, kita di sini juga bisa berwisata sejarah.
Bukti fisik peninggalan Belanda dan Jepang masih bisa kita temukan di sini, seperti mercusuar peninggalan Belanda yang masih aktif sampai sekarang ini. Menurut masyarakat yang menemani kami, dulunya Tanjung Ringgit adalah wilayah pertahanan Belanda dan Jepang di wilayah selatan. Di sini sebenarnya ada dua buah Meriam Jepang, hanya saja meriam yang satu itu sudah dicabut oleh orang yang paling berpengaruh di wilayah itu dan disimpan dalam sebuah tempat.
Selain itu, juga ada parit-parit pertahanan yang sekarang sudah ditumbuhi semak belukar. Yang paling membuat penasaran, adalah gundukan tanah di sekitar Meriam dengan dua jendela yang berada di permukaan tanah. Mungkin, di bawah gundukan ini ada bangunan megah yang tertimbun, siapa tau bangunan yang tertimbun ini dulunya adalah pusat pertahanan yang dibuat oleh Jepang ataupun Belanda.
Berlanjut ke arah selatan, letaknya di ujung bukit kedua, terdapat gua yang sangat indah dan masih menganga. Namanya Goa Raksasa, gua ini juga digunakan oleh Jepang sebagai benteng pertahanan. Gua ini bisa tembus ke ke laut, sayangnya kami tidak bisa masuk jauh lebih dalam karena terkendala alat.
Ya, hal ini dikarenakan semakin dalam gua yang indah itu semakin gelap. Saat ini, menurut masyarakat sekitar, di dalam gua tersebut ada kolam air tawar yang seringkali digunakan untuk mandi oleh pengunjung.